Cantik itu luka

Tuesday, January 31, 2017

Dream Trip I






Ini bukan sekedar cerita dongeng atau kisah fiksi belaka, namun sebuah perjalanan antara hidup dan mati, yang di latarbelakangi oleh kesengsaraan akan sebuah kenyataan. Bukan sok puitis atau sok dramatis, tapi memang inilah yang terjadi sama gue.
 El Noura. Sering disapa Ra. Itulah nama gue. Sering banyak yang mengira gue blasteran atau pengikut dajjal, gara-gara nama panggilan gue Ra. Sama kayak simbolnya dajjal. Namun gak mungkinlah. Gue tipe wanita yang kalo makan banyak gak bakalan gemuk, bukan sok muji diri sendiri tapi ini kan sesi perkenalan, jadi gue berusaha ngejelasin apa adanya. Kulit putih langsat dengan hidung mancung, mata sayu, bibir tipis, tinggi 162 cm, berat 50 kg, baik, introvert, dan simple. Itulah gue. Gak perlu lama-lama bahas tentang gue, langsung aja ke inti dari cerita ini. Perjalanan gue.
 
Huft.. gue bukan ikut acara My Trip My Adventure, karena gue bukan gadis petualang. Dan gue gak tau mau mulai dari mana, coba gue ingat dulu. Oh ya.. kisah ini berawal dari..
Waktu itu gue baru kelas 1 SMA, alias kelas 10. Masih anak baru ya, wajar sering dibully sama kakak-kakak senior perempuan. Mungkin karena banya kakak-kakak senior cowok yang deketin aku, jadi mereka iri sama aku. Bisa dibilang aku menarik dengan memiliki banyak bakat, menyanyi, menari, melukis, dan lain sebagainya gue bisa. Bahkan soal kepandaian, gue gak kalah sama mereka yang punya prestasi segudang. Hanya saja gue malas berurusan sama yang namanya lomba, olimpiade, atau apapun itu. Jikalau emang gue suka gue bakalan ikut.
Balik ke soal pem-bully-an. Banyak kejadian yang tidak mengenakkan yang harus gue alami. Apalagi setelah gue resmi menjadi siswa di sekolah itu. Mungkin tangan mereka bakalan gatal kalau gak jahilin gue. Gue ingat, waktu itu hari selasa pas jam istrahat, di kantin ada salah satu cowok yang berusaha deketin gue, karena gue orangnya rada cuek, yah gue biarin aja. Kalo ditanya ya jawab, kalo gak ya diam aja. Sehabis dari kantin, gue diajak sama Kak Beti kebelakang sekolah, katanya ada yang mau ketemu sama gue. Gue turutin aja, daripada urusannya jadi tambah panjang kalo gue nolak, kan gak asyik, jadi ribet dong. Nah, sesampainya dibelakang sekolah, ternyata ada banyak senior cewek tuh, gue disuruh jongkok, gue gak mau lah, kalau jongkok kan nanti dalaman gue kelihatan. Mereka berusaha maksa gue, dan yah mereka berhasil.
“Kupu-kupu lo ya? Kenapa lo deket-deket ama si Boni? Dia itu cowok gue.” Teriak Kak Bebi, kembarannya Kak Beti.
“Saya Ra kak, bukan kupu-kupu. Dan saya gak tahu siapa itu Kak Boni.”Jawab gue dengan nada sopan.
“Cowok yang paling ganteng disekolah, itu Boni namanya. Yang keren itu loh.” Kata salah satu dari mereka yang memegang sebatang rokok.
Sebenarnya gue baru tahu kalo namanya Kak Boni. Gue heran, cowok yang gak ada tampang gitu di bilang ganteng ama mereka. Yah gue diem aja, selanjutnya gue gak tahu mereka ngomong apa. Gue Cuma berusaha merhatiin ulat bulu yang merayap-rayap diantara dedaunan kering. Kadang dia berhenti, mungkin karena sudah terlalu lelah.
“Mungkin lo bakalan jadi kupu-kupu yang cantik.” Ucap gue sambil tersenyum.
Sementara, mereka hanya bengong mendengar ucapan yang keluar dari mulut gue.
“Maksud lo apaa?” teriak Kak Bebi.
Aku melirik satu per satu wajah mereka. Ternyata mereka marah setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut gue. Barangkali mereka merasa tersindir. Gue Cuma tersenyum, meberikan senyuman paling manis buat mereka. Barangkali dengan senyuman gue, amarah mereka bakalan padam.
Namun diluar dugaan, senyuman gue jadi percikan api untuk mereka. Amarah mereka mulai membakar hingga ke ubun-ubun. Kak Bebi mengangkat kerah bajuku, sontak membuatku berdiri. Dengan tatapan tajam dia mengangkat tangan kirinya dan mengayunkannya dengan cepat ke arah pipiku. Plak.. Kepalaku terasa pusing dan wajahku rasanya panas. Dalam pikiranku hanya “Kak Bebi ternyata kidal”. Gue diam aja, gak berteriak. Pandanganku hanya 1 titik, yakni pada ulat bulu tadi, berpikir bahwa mungkin nasib kita berdua sama. “Ulat” gumamku.
Ternyata gumaman gue terdengar oleh Kak Bebi, membuat dia harus mendaratkan beberapa tonjokkan ke wajah gue, dengan sangat kasar dia menjambak rambut gue, hingga kepala gue terbentur-bentur ke dinding. Rasanya pening. Sementara, gue hanya bersandar pada dinding sambil merintih kesakitan. Komplotannya yang lain berusaha mencegat kak Bebi buat mukul gue. Mungkin karena takut, gue bakalan mati kali ya. Mereka lalu mengajak kak Bebi pergi. Gue hanya berdiri mematung dengan tatapan yang sama, pada ulat bulu itu sambil mengumpulkan tenaga gue yang terkuras.
Beberapa menit kemudian, gue berusaha berjalan. Dengan langkah gontai gue menuju kekelas. Sesampainya di pintu kelas, gue berdiri mematung. Teman-teman dan  ibu guru yang sedang mengajar memandangi gue dengan kening yang berkerut. Sepertinya keadaan gue mamprihatinkan”.Gue berusaha berjalan ke arah bangku dan mengambil tas hitam milik gue yang terletak diatas meja gue. Sementara mereka masih hening.
“Kamu kenapa El Noura?” tanya guru yang masih memegang spidol.
“Saya sakit bu. Mau pulang.” Ucap gue sambil memandang lirih pada guru.
Ibu guru itu, ibu Nadin. Beliau langsung menggandeng gue dan mengajak gue ke ruang BK. Sesampainya di BK, gue di interogasi tentang perihal yang terjadi sama gue. Hanya satu kata yang keluar dari mulut gue. “Kak Bebi and the genk”. Nampaknya kalimat itu membuat mereka puas akan pertanyaan yang muncul di benak mereka.
“Saya izin pulang dulu ya buk.”
“iya, mari ibu antar.”
“Gak usah buk. Saya bisa sendiri.”
Akhirnya gue pulang dalam keadaan sendiri, seperti saat gue datang kesekolah. Sendiri.
Singkat cerita akhirnya, gue sampai rumah. Rumah yang gue harap bakalan bikin diri gue relax, namun kenyataannya berbeda. Sampai rumah, gue melihat rumah yang berantakan, dengan piring kotor yang belum dicuci, kulit pisang dan kulit kacang berhamburan diatas meja makan, sementara botol-botol alkohol berserakan diruang tengah. Lalu, gue seperti mendengar jeritan-jeritan kecil. Gue berusaha mencari-cari sumber suara itu, ternyata itu berasal dari arah kamar mami gue. Terlihat dia sudah tak mengenakan baju atasan, dan roknya terangkat hingga ke perut sementara seorang laki-laki dengan mengenakan kemeja yang kancingnya terbuka semua dan celana hitam yang dipakai hanya dengan 1 kaki, sehingga pantatnya yang berbulu kelihatan. Gue jijik melihatnya, pengen muntah.
Gue lupa cerita, kalau gue sebenarnya terlahir tanpa ayah. Alias gue anak haram. Yah.. mami gue pelacur. Bahkan berkat pekerjaannya dia berhasil membuat sebuah tempat pelacuran, sehingga menggaet gadis-gadis cantik untuk bekerja ditempatnya. Dari situ, gue mulai manggil dia mami. Mengikuti kebiasaan para karyawan dan para pelanggannya kalo manggil dia. Awalnya gue sedih, sempat pengen bunuh diri begitu tahu kalo itu adalah hal sangat memalukan. Gue sering diejek, dan sering di bully sampai sekarang. Tapi, lama-lama gue terbiasa, bahkan udah gak ngerasain hal-hal yang seperti itu. Mungkin gue udah mati rasa kali ya. Tapi, 1 hal yang bikin gue bangga adalah gue perawan. Mami gue gak mungkin ngejual keperawanan gue. Jadi yah, gue masih perawan. Gue bertekad buat menjaga keperawanan gue sampai tiba saatnya.
Oke.. lalu gue menuju ke sebuah ruang yang pintunya bertuliskan Ra. Dengan hiasan dream-catcher yang bergelantungan. Itulah kamar gue. Gue pegang gagangnya, trus gue putar kekanan dan akhirnya pintunya terbuka. Aroma lavender tercium begitu gue masuk kedalam. Gue tutup pintu kamar gue, supaya aromanya gak bisa keluar. Dengan tatanan yang masih rapi semenjak gue tinggal pergi kesekolah, membuat gue semakin nyaman. Gue rebahkan  badan gue kekasur berwarna biru pastel, dengan menatap langit-langit kamar yang berhiaskan bintang-bintang. Gue melirik foto berukuran 20r yang bergelantungan didinding, terlihat foto gadis dan wanita. Yap, itu foto gue dan mami. Mereka berdua tersenyum seperti mereka adalah keluarga yang sangat bahagia, dan memiliki kehidupan yang sangat bahagia pula. Setidaknya, dengan senyuman itu mengajarkan gue bahwa dunia ini pangung sandiwara. Gue segera bangkit dari kasur dan menuju meja rias berwarna pink, mendekatkan wajah gue ke cermin dan melihat dengan seksama setiap memar di muka gue. Tulang pipi gue lebam, dan masih ada bekas merah bergambar tangan di pipi kiri gue. Gue menjilati darah yang masih basah di bibir gue. Rasanya perih. Gue akhirnya mengambil es batu dari lemari es dan mengompresinya. Setelah itu gue mengganti pakaian sekolah gue dengan celana pendek dan kaos hitam. Lalu segera merebahkan badan gue ke kasur lagi. Kepala seakan masih terasa pening. Gue berusaha tidur dan berusaha melupakan semua kejadian yang telah terjadi. Semakin lama mata gue semakin berat, dan akhirnya tertutup.


Tiba-tiba gue berada diruang yang sangat gelap, atau mungkin terowongan, bisa jadi tak ada ruang atau terowongan hanya kegelapan semata. Rasanya sesak dan hampa. Lalu,  tiba-tiba gue melihat titik cahaya dari arah yang sangat jauh. Gue berusaha mendekat dan meraih cahaya itu. Semakin gue berjalan, cahaya itu semakin besar, semakin bersinar, dan blaarr… tiba-tiba gue berada di tengah-tengah cahaya itu. Nampaknya dibalik cahaya itu ada sesuatu, gue berusaha mengedip-ngedipkan mata gue agar sesuatu itu nampak jelas. Nampaknya itu sesuatu berwarna hijau, tapi belum jelas bentuknya. Gue mencoba mendekat ke arah sesuatu itu, ternyata semakin lama mulai semakin jelas. Dengan kening yang berkerut, gue mengamatinya. “Pohon?” ucap gue kaget saat tahu ternyata itu hanyalah sebuah pohon, yang buahnya bergelantungan. Gue menarik salah satu buah yang bergelantungan rendah. “Apel? Pohon apel?”. Seakan gue gak percaya, gue mencium aromanya dan menggigitnya. Nyam.. ini sangat enak. Ini adalah apel terenak yang pernah gue cicipi.
“Hey..” teriak sesorang dari balik pohon itu, tapi gue masih belum jelas melihatnya karena cahaya masih saja menyelimuti sekitaran pohon apel itu. Dari suara yang gue dengar dia adalah laki-laki, tapi gue gak tahu bagaimana rupa dan wujudnya. Seketika tubuh gue seakan terhempas sangat jauh, menjauh dari pohon apel itu, menjauh dari cahaya itu, menjauh dari bayangan yang samar-samar dan..
Mata gue terbuka, dengan keringat dingin dan nafas yang tersengal-sengal gue berusaha mengangkat tangan gue. Melihat apakah apelnya masih ada. Namun nihil, gue berusaha bangun dan gue mendapati diri gue ada didalam kamar gue. Ternyata gue bermimpi.

Bersambung.. 

Ikuti terus ceritanya yaa.... karena ada kejutan selanjutnya.

Sunday, January 29, 2017

Senyum Wanita Bercadar





Senyum itu sedekah. Dalam tanda kutip senyuman yang penuh dengan keikhlasan dan ketulusan. Senyum pun merupakan  isyarat untuk menyapa orang lain tanpa perlu berkata, di saat kita mengenal maupun saling tidak kenal. Hanya dengan 1 senyuman saja, segala prasangka akan dihilangkan seketika.
Misalnya, kita jalan nih, lenggak sana lenggok sini bak model yang lagi catwalk. Lalu, ada sekumpulan cewek yang lagi sedang ngerumpi ngelirik kita. Masing-masing dari mereka pasti berpendapat (walau dalam hati). “Gila cantik banget” “Wuih.. Bodygoals tuh” “Tapi sayang sombong banget”. Sombong, orang pasti akan menjudge kita dengan kata sombong jikalau wajahnya jutek atau datar, padahal kita udah nyapa. Tapi, kalau kita berikan senyuman paling manis. “Gak nyangka, ramah ya dia”. Yap.. otomatis penilaian sombong dihapuskan.
Jadi begitu kira-kira.
Talking about Senyum. Pasti ada di antara kalian yang bertanya-tanya, kira-kira gimana ya senyum wanita bercadar?. Yap, aku akan jawab semampu aku, melalui kisah di bawah ini. (Moga kalian paham).

“Assalamu’alaikum warahmatullah..” sambil memalingkan kepala ke kanan lalu ke kiri, mengadahkan tangan dengan melafaskan doa dan diakhiri dengan mengusap wajah serta kata “Alhamdulillah”. Gadis itu segera melepaskan mukenahnya, menggantinya dengan khimar berwarna coklat susu yang panjangnya hingga pinggul. Tampak warnanya senada dengan baju yang ia kenakan.
“Assalamu’alaikum Febi..” terdengar suara dari luar rumah gadis itu, sambil mengetuk pintu sebanyak 3x, salam itu terdengar lagi.
Gadis itu segera mengambil cadarnya yang baru disetrika lalu mengikatkannya kekepala, lalu bergegas menuju pintu. Pintu dibuka olehnya dengan 2x memutar kunci kekiri.
“Walaikumsalam..” Balas Febi.

“Kok lama bukain pintu? Buruan kita udah telat nih.”
“Iya uci, aku kira siapa yang salam, makanya aku lagi make cadar dulu.” “bentar ya, aku kekamar dulu.”
“Ya udah, aku minta air dingin ya, panas nih.”
“Iya, kamu ambil aja, gak usah sungkan.”
“oke..” Uci segara menuju kedapur dengan terburu-buru, karena sepertinya kerongkongan menjadi kering karena cuaca siang hari yang begitu menggerahkan.
Sementara Febi menuju kekamar, ia membuka ikatan cadar, membuka khimarnya, lalu mengikatkan kembali cadarnya, setelah itu memakai khimar kembali. Boleh diakui, memang orangnya alim namun tampilannya selalu modis, maklum designer yang lagi hits dikalangan remaja yang bercadar. Karya-karyanya terkenal hingga keluar daerah, banyak peminatnya, dia secara khusus mendesign pakaian kasual maupun gaun bagi mereka yang bersyar’i. Bahkan cadarnya dihias sedemikian cantiknya untuk membuat lebih modern. Tapi tentunya masih dalam keindahan yang wajar.
“Febi, produk kita makin menipis nih.”
“Iya, rencananya habis dari toko buku aku mau ngajak kamu buat beli bahan. Semalam aku ngedesain beberapa khimar.”
“Oh ya, aku mau liat dong.”
“Nanti aja kalo udah jadi.”
“Ih.. pelit.” Uci menggerutu. Sementara Febi hanya cengingiran melihat tingkah Uci.
Uci adalah sahabatnya Febi dari SMA. Mereka bekerja sama dalam membangun bisnis. Febi sebagai produsennya sementara Uci sebagai Distrubutornya. Mereka selalu kemana-mana berdua, kuliah pun bareng, jurusan yang sama pula, Akuntansi.
***
“Febi, aku udah dapat warna yang sesuai sama gambarnya kamu, sini..” Uci mengayunkan tangannya, dan mengangkat kain yang berwarna hijau pastel.
“Alhamdulillah, dapat juga. Tinggal 1 nih berarti.” Ucap Febi dengan rasa syukur.
“Ya udah, kamu coba cek di toko sebelah, barangkali ada kan. Biar aku yang ngantri ini di kasir.” Kata Uci sambil menepuk pundak Febi untuk memberinya semangat.
“Oke thanks ya, nanti kamu susul aku ya, awas kalo ditinggalin.”
“Iyaaa ukhti..”
Febi tersenyum, dan segera menuju Toko sebelah.
Sebelum memasuki pintu toko itu dia sempat melirik papan yang bertuliskan “Toko Jaya”. Baru pertama kali ia memasuki toko ini, karena biasanya dia langganan dari toko sebelahnya. Di dalam toko ini kainnya agak berbeda dari toko sebelah, mulai dari corak hingga warnanya, lebih ke arah chinesse gitu.
Dengan memegang secarik kertas yang bergambar hasil desainnya, dia mencoba memilah-milah kain yang cocok dengan gambar itu. 1 menit, 2 menit, 3 menit…7 menit, tak kunjung ia dapat.
“Ehh.. permisi, boleh saya bantu?” terdengar suara pria dari arah belakang. Dengan wajah yang tersenyum membuat ia terlihat seperti menutup mata.

“Sa..Saya mau cari bahan yang cocok dengan ini, setidaknya mendekati inilah ya.” Ucap Febi kaget, sambil menyodorkan secarik kertas ke pria itu.
Pria itu tampaknya mengamati gambarnya dengan  agak lama, barangkali dia hendak mencoba menerka-nerkanya dengan kain yang ada.
“Boleh aku beri saran?” tanya pria itu sambil memandang wajah Febi.
“Iya.”
“Ditoko ini gak ada corak yang floral yang seperti pada gambar ini, tapi di toko ini ada warna yang sama dengan ini tapi coraknya beda lebih ke chinese gitu.”
“Boleh saya lihat?”
“Oh tentu, mari silahkan mbak, lewat sini.” Sambil menjulurkan tangannya ke arah lorong diantara kain.
Febi mengikuti arah yang ia maksudkan.
“Ini dia mbak, bagus gak?”
“Hmm.. ini akan berbeda dari rancangan-rancangan saya sebelumnya.” Kata febi dengan kening berkerut. “Tapi.. ini seperti inovasi baru buat saya, mungkin saya harus keluar dari zona nyaman saya yah, ini tema baru buat saya. Oke deh, saya beli yang ini 7 meter. Jikalau misalnya laris, saya akan beli banyak deh yang kayak gini. Masih ada kan stoknya?”  Jelas Febi.
“Oh tenang mbak, ini juga stoknya baru masuk tadi pagi. Jadi mbak pembeli pertama kain in. selamat ya mbak.” Kata pria itu sambil mengulurkan tangan kanannya.
“hahaha.. iya makasih.” Ucap Febi sambil mendekatkan kedua tangannya dan mengerahkannya ke dagu (isyarat menyalami).
“Oh.. lupa” Pria itu mengikuti gerakan Febi dengan merapatkan kedua tangannya dan mendekatkannya ke dagu.
Kain itu segera diukur pria itu dan diantarnya ke kasir.
***
“Febi, penjualan hari ini meningkatkan, banyak yang mesan model yang kayak gini nih.” Ucap Uci sambil memegangi sebuah handphone yang diarahkannya ke wajah Febi. Febi harus menjauhkan kepalanya dari handphone itu, karena terlalu dekat. Setelah gambarnya terlihat jelas, ia lalu mengerutkan dahinya.
“Serius kamu?” tanya Febi tidak percaya.
“Iya.. untung besar nih kita.”
“Ingat, tujuan utama kita buat jualan kayak gini buat menggerakkan hati para wanita untuk bersyar’I agar mereka lebih PD dan tidak menganggap bahwa jilbab besar adalah ketinggalan mode.”
“Iya iya aku ingat, tapi tujuan kedua kan buat nyari duit. Hehe..”
Febi hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
“Ya udah, kalo kayak gitu kamu harus temenin aku ke Toko Jaya.” Ucap Febi sambil melirik tajam ke arah Uci.
“Toko Jaya?” tanya Uci
“Iya, toko yang aku beliin bahan kain khimar itu.”
“Oh.. yang karyawannya Koko ganteng itu?”
“Iya, gan..” ucapan Febi terhenti. Wajahnya memerah, karena tanpa sadar dia mau mengakui kegantengan pria penjual itu. Jantungnya berdebar.
“Ayuk..” Ucap Febi seketika untuk menutupi pembicaraannya sebelum Uci mencurigai.
***
“Berapa semuanya Ko’?” Tanya Febi pada pria paruh baya yang sedang menjadi kasir.
“Semuanya 175ribu, tapi saya diskon 150ribu aja.” Jawab pria itu sambil tersenyum.
“Wah terima kasih banyak Ko’, gak apa-apa ya?”
“Iya gak apa-apa”
Febi menyodorkan uang pecahan 100 dan 50 kepada pria itu, sementara pria itu menerimanya sambil menganggukkan kepalanya.
“Sekali lagi terima kasih Ko’.” Ucap Febi.
Dibalik cadarnya yang hitam tersimpan senyuman manis. Senyuman yang membuat pria yang tengah memandanginya terpana. Pria itu adalah karyawan yang waktu itu membantu Febi mencari bahan untuk rancangannya, pria yang memberikan saran mengenai motif kainnya, dan pria yang memberikan inovasi baru untuknya. Koko.
***
Malam menunjukkan pukul 20.32 WITA, nampaknya seorang gadis masih tengah asyik mengotak-atik laptopnya, melihat-lihat artikel-artikel mengenai pakaian-pakaian syar’i. Dengan tanpa mengenakan cadar, terlihat pipinya yang bening karena terkena cahaya dari layar didepannya, matanya yang bulat, dan bibir yang penuh sambil tersenyum menambah kecantikan dirinya.
“Assalamu’alaikum..” dibarengi dengan ketukan pintu sebanyak 2x, lalu sekali lagi.
“Walaikumsalam..” Jawab Febi.
“Siapa ya, yang bertamu udah malam kayak gini.” Gumamnya.
Dia segera mengambil cadarnya yang tergantung dibalik pintu, lalu mengikatkannya pada kepalanya. Segera ia menuju kepintu depan dan membukanya.
“Wa..alaikusalam. Ko..ko..” ucapnya terbata, setelah melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah Koko dari Toko Jaya. “Mari silahkan masuk.”
“Ehm.. iya. Maaf mengganggu.” ucap Koko sambil mendaratkan pantatnya kekursi yang di tujukan untuknya.
“Ada yang bisa saya bantu mas Koko?” Tanya Febi agak canggung.
“Gak usah panggil mas, Koko aja.”
“Oh iya, Koko. Kamu tau alamat rumah aku darimana?”
“Ceritanya panjang Febi, yang jelas aku datang kesini mau mengajukan proposal.”
“Hah? Proposal apa? Panti asuhan?” Tanya Febi agak kebingungan.
“Bukan. Jadi gini.. to the point aja yah.”
Febi hanya menyimaknya dengan waswas.
“Aku sebenarnya berniat mau melamar kamu. Orang tua kamu ada?”
“Eh sebentar.. maksud kamu melamar, menikah gitu?” tanya Febi dengan perasaan yang sudah tak karuan. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah lebih cepat, membuat khimarnya seperti bergetar-getar.
“Sebenarnya sejak pertama kali kita bertemu aku tertarik sama kamu, pribadi kamu dan senyuman kamu. Walaupun kamu bercadar, aku bisa melihat ketulusan dari caramu tersenyum, itu sangat membuat aku berdebar, maksudku aku sangat suka ketika melihatmu tersenyum. Tak ada kepalsuan.”
“Oke.. tunggu..tunggu.. senyuman aku? Bagaimana kamu bisa tertarik sama senyuman aku sementara senyumku tertutupi oleh cadarku.”
“Cadar tak bisa menutupi pancaran dari senyummu. Matamu melukiskan semuanya. Ehh.. aku bukan bermaksud buat ngegombalin kamu, tapi ini fakta.”
Febi hanya terdiam. Mencoba mengatur pernapasannya agar dia tidak terlihat seperti sesak nafas. Ia merasakan perasaan bahagia, takut dan terharu. bercampur aduk menjadi satu. Memikir-mikir, meminang-minang, dan akhirnya muncul sebuah keputusan yang tepat baginya.
Setelah beberapa lama mereka terdiam, akhirnya Koko buka suara kembali.
“Kamu.. mau menerima lamaranku?.”
“Silahkan melalui kedua orang-tuaku terlebih dahulu. Jikalau mereka merestui, berarti Allah memang merestui kita.”
“Jadi kamu mau?”
“Kamu Islam? Aku tidak ingin pindah agama ataupun menikah berbeda keyakinan.”
“Iya.. Aku memang keturunan Cina, Islam Hui.”
“Alhamdulillah. Orang-tuaku akan pulang lusa dari Surabaya. Hendaknya kamu mempersiapkan segalanya terlebih dahulu sebelum menemui orang tuaku. Dan aku akan memberitahukan mereka lebih dulu soal ini, agar mereka tidak kaget.”
“Baiklah, Insya Allah.”
“Insya Allah.”
***
“Jikalau anak saya memang sudah ingin, ya okelah.” Ucap pria berkumis tipis sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Tampak raut kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
“Alhamdulillah.” Ucap pria paruh baya, Ko’ dari Toko Jaya.
Usut punya usut ternyata Koko adalah anak dari pemilik Toko Jaya.
“Kalau begitu, kita Ta’arufan dulu sambil mempersiapkan segala sesuatu.” Ucap Koko sambil memandangi Febi.
Kedua orang tua Febi mengangguk setuju. Lalu, mereka saling bersalaman sebagai tanda penutup.


3 bulan kemudian..
“Saya terima nikahnya Febi Azahra binti Khairudin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 3 gram di bayar tunai.”
“Sah?” tanya pak penghulu kepada saksi-saksi yang tengah hadir diantara mereka.
“Sah..” Jawab mereka secara serentak.
“Alhamdulillah.”
Febi lalu menjabat tangan Koko yang sekarang sudah menjadi suaminya dengan lembut dan menciumnya. Terlihat setitik air mata di pelipis matanya. Sementara, sahabatnya Uci menangis terharu melihat sahabatnya itu telah menikah.
Febi dan Koko segera menghampiri kedua orangtua mereka dan menyalami serta berpelukan secara bergantian, sebagai tanda penghormatan kepada kedua orang tua.

Karena senyuman bukan sekedar terukir diatas bibir, namun terpancar pada mata melalui hati. Itulah ketulusan senyuman dari wanita bercadar. Febi.