Senyum itu
sedekah. Dalam tanda kutip senyuman yang penuh dengan keikhlasan dan ketulusan.
Senyum pun merupakan isyarat untuk
menyapa orang lain tanpa perlu berkata, di saat kita mengenal maupun saling
tidak kenal. Hanya dengan 1 senyuman saja, segala prasangka akan dihilangkan
seketika.
Misalnya, kita
jalan nih, lenggak sana lenggok sini bak model yang lagi catwalk. Lalu, ada
sekumpulan cewek yang lagi sedang ngerumpi ngelirik kita. Masing-masing dari
mereka pasti berpendapat (walau dalam hati). “Gila cantik banget” “Wuih..
Bodygoals tuh” “Tapi sayang sombong banget”. Sombong, orang pasti akan menjudge
kita dengan kata sombong jikalau wajahnya jutek atau datar, padahal kita udah
nyapa. Tapi, kalau kita berikan senyuman paling manis. “Gak nyangka, ramah ya
dia”. Yap.. otomatis penilaian sombong dihapuskan.
Jadi begitu
kira-kira.
Talking about
Senyum. Pasti ada di antara kalian yang bertanya-tanya, kira-kira gimana ya
senyum wanita bercadar?. Yap, aku akan jawab semampu aku, melalui kisah di
bawah ini. (Moga kalian paham).
“Assalamu’alaikum
warahmatullah..” sambil memalingkan kepala ke kanan lalu ke kiri, mengadahkan
tangan dengan melafaskan doa dan diakhiri dengan mengusap wajah serta kata
“Alhamdulillah”. Gadis itu segera melepaskan mukenahnya, menggantinya dengan
khimar berwarna coklat susu yang panjangnya hingga pinggul. Tampak warnanya
senada dengan baju yang ia kenakan.
“Assalamu’alaikum
Febi..” terdengar suara dari luar rumah gadis itu, sambil mengetuk pintu
sebanyak 3x, salam itu terdengar lagi.
Gadis
itu segera mengambil cadarnya yang baru disetrika lalu mengikatkannya kekepala,
lalu bergegas menuju pintu. Pintu dibuka olehnya dengan 2x memutar kunci
kekiri.
“Walaikumsalam..”
Balas Febi.
“Kok
lama bukain pintu? Buruan kita udah telat nih.”
“Iya
uci, aku kira siapa yang salam, makanya aku lagi make cadar dulu.” “bentar ya,
aku kekamar dulu.”
“Ya
udah, aku minta air dingin ya, panas nih.”
“Iya,
kamu ambil aja, gak usah sungkan.”
“oke..”
Uci segara menuju kedapur dengan terburu-buru, karena sepertinya kerongkongan
menjadi kering karena cuaca siang hari yang begitu menggerahkan.
Sementara
Febi menuju kekamar, ia membuka ikatan cadar, membuka khimarnya, lalu
mengikatkan kembali cadarnya, setelah itu memakai khimar kembali. Boleh diakui,
memang orangnya alim namun tampilannya selalu modis, maklum designer yang lagi
hits dikalangan remaja yang bercadar. Karya-karyanya terkenal hingga keluar
daerah, banyak peminatnya, dia secara khusus mendesign pakaian kasual maupun
gaun bagi mereka yang bersyar’i. Bahkan cadarnya dihias sedemikian cantiknya
untuk membuat lebih modern. Tapi tentunya masih dalam keindahan yang wajar.
“Febi,
produk kita makin menipis nih.”
“Iya,
rencananya habis dari toko buku aku mau ngajak kamu buat beli bahan. Semalam
aku ngedesain beberapa khimar.”
“Oh
ya, aku mau liat dong.”
“Nanti
aja kalo udah jadi.”
“Ih..
pelit.” Uci menggerutu. Sementara Febi hanya cengingiran melihat tingkah Uci.
Uci
adalah sahabatnya Febi dari SMA. Mereka bekerja sama dalam membangun bisnis.
Febi sebagai produsennya sementara Uci sebagai Distrubutornya. Mereka selalu
kemana-mana berdua, kuliah pun bareng, jurusan yang sama pula, Akuntansi.
***
“Febi,
aku udah dapat warna yang sesuai sama gambarnya kamu, sini..” Uci mengayunkan
tangannya, dan mengangkat kain yang berwarna hijau pastel.
“Alhamdulillah,
dapat juga. Tinggal 1 nih berarti.” Ucap Febi dengan rasa syukur.
“Ya
udah, kamu coba cek di toko sebelah, barangkali ada kan. Biar aku yang ngantri
ini di kasir.” Kata Uci sambil menepuk pundak Febi untuk memberinya semangat.
“Oke
thanks ya, nanti kamu susul aku ya, awas kalo ditinggalin.”
“Iyaaa
ukhti..”
Febi
tersenyum, dan segera menuju Toko sebelah.
Sebelum
memasuki pintu toko itu dia sempat melirik papan yang bertuliskan “Toko Jaya”.
Baru pertama kali ia memasuki toko ini, karena biasanya dia langganan dari toko
sebelahnya. Di dalam toko ini kainnya agak berbeda dari toko sebelah, mulai
dari corak hingga warnanya, lebih ke arah chinesse gitu.
Dengan
memegang secarik kertas yang bergambar hasil desainnya, dia mencoba memilah-milah
kain yang cocok dengan gambar itu. 1 menit, 2 menit, 3 menit…7 menit, tak
kunjung ia dapat.
“Ehh..
permisi, boleh saya bantu?” terdengar suara pria dari arah belakang. Dengan
wajah yang tersenyum membuat ia terlihat seperti menutup mata.
“Sa..Saya
mau cari bahan yang cocok dengan ini, setidaknya mendekati inilah ya.” Ucap
Febi kaget, sambil menyodorkan secarik kertas ke pria itu.
Pria
itu tampaknya mengamati gambarnya dengan
agak lama, barangkali dia hendak mencoba menerka-nerkanya dengan kain
yang ada.
“Boleh
aku beri saran?” tanya pria itu sambil memandang wajah Febi.
“Iya.”
“Ditoko
ini gak ada corak yang floral yang seperti pada gambar ini, tapi di toko ini
ada warna yang sama dengan ini tapi coraknya beda lebih ke chinese gitu.”
“Boleh
saya lihat?”
“Oh
tentu, mari silahkan mbak, lewat sini.” Sambil menjulurkan tangannya ke arah
lorong diantara kain.
Febi
mengikuti arah yang ia maksudkan.
“Ini
dia mbak, bagus gak?”
“Hmm..
ini akan berbeda dari rancangan-rancangan saya sebelumnya.” Kata febi dengan kening
berkerut. “Tapi.. ini seperti inovasi baru buat saya, mungkin saya harus keluar
dari zona nyaman saya yah, ini tema baru buat saya. Oke deh, saya beli yang ini
7 meter. Jikalau misalnya laris, saya akan beli banyak deh yang kayak gini.
Masih ada kan stoknya?” Jelas Febi.
“Oh
tenang mbak, ini juga stoknya baru masuk tadi pagi. Jadi mbak pembeli pertama
kain in. selamat ya mbak.” Kata pria itu sambil mengulurkan tangan kanannya.
“hahaha..
iya makasih.” Ucap Febi sambil mendekatkan kedua tangannya dan mengerahkannya
ke dagu (isyarat menyalami).
“Oh..
lupa” Pria itu mengikuti gerakan Febi dengan merapatkan kedua tangannya dan
mendekatkannya ke dagu.
Kain
itu segera diukur pria itu dan diantarnya ke kasir.
***
“Febi,
penjualan hari ini meningkatkan, banyak yang mesan model yang kayak gini nih.”
Ucap Uci sambil memegangi sebuah handphone yang diarahkannya ke wajah Febi.
Febi harus menjauhkan kepalanya dari handphone itu, karena terlalu dekat.
Setelah gambarnya terlihat jelas, ia lalu mengerutkan dahinya.
“Serius
kamu?” tanya Febi tidak percaya.
“Iya..
untung besar nih kita.”
“Ingat,
tujuan utama kita buat jualan kayak gini buat menggerakkan hati para wanita
untuk bersyar’I agar mereka lebih PD dan tidak menganggap bahwa jilbab besar
adalah ketinggalan mode.”
“Iya
iya aku ingat, tapi tujuan kedua kan buat nyari duit. Hehe..”
Febi
hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
“Ya
udah, kalo kayak gitu kamu harus temenin aku ke Toko Jaya.” Ucap Febi sambil
melirik tajam ke arah Uci.
“Toko
Jaya?” tanya Uci
“Iya,
toko yang aku beliin bahan kain khimar itu.”
“Oh..
yang karyawannya Koko ganteng itu?”
“Iya,
gan..” ucapan Febi terhenti. Wajahnya memerah, karena tanpa sadar dia mau
mengakui kegantengan pria penjual itu. Jantungnya berdebar.
“Ayuk..”
Ucap Febi seketika untuk menutupi pembicaraannya sebelum Uci mencurigai.
***
“Berapa
semuanya Ko’?” Tanya Febi pada pria paruh baya yang sedang menjadi kasir.
“Semuanya
175ribu, tapi saya diskon 150ribu aja.” Jawab pria itu sambil tersenyum.
“Wah
terima kasih banyak Ko’, gak apa-apa ya?”
“Iya
gak apa-apa”
Febi
menyodorkan uang pecahan 100 dan 50 kepada pria itu, sementara pria itu
menerimanya sambil menganggukkan kepalanya.
“Sekali
lagi terima kasih Ko’.” Ucap Febi.
Dibalik
cadarnya yang hitam tersimpan senyuman manis. Senyuman yang membuat pria yang
tengah memandanginya terpana. Pria itu adalah karyawan yang waktu itu membantu
Febi mencari bahan untuk rancangannya, pria yang memberikan saran mengenai
motif kainnya, dan pria yang memberikan inovasi baru untuknya. Koko.
***
Malam
menunjukkan pukul 20.32 WITA, nampaknya seorang gadis masih tengah asyik
mengotak-atik laptopnya, melihat-lihat artikel-artikel mengenai pakaian-pakaian
syar’i. Dengan tanpa mengenakan cadar, terlihat pipinya yang bening karena
terkena cahaya dari layar didepannya, matanya yang bulat, dan bibir yang penuh
sambil tersenyum menambah kecantikan dirinya.
“Assalamu’alaikum..”
dibarengi dengan ketukan pintu sebanyak 2x, lalu sekali lagi.
“Walaikumsalam..”
Jawab Febi.
“Siapa
ya, yang bertamu udah malam kayak gini.” Gumamnya.
Dia
segera mengambil cadarnya yang tergantung dibalik pintu, lalu mengikatkannya
pada kepalanya. Segera ia menuju kepintu depan dan membukanya.
“Wa..alaikusalam.
Ko..ko..” ucapnya terbata, setelah melihat bahwa yang berdiri di depannya
adalah Koko dari Toko Jaya. “Mari silahkan masuk.”
“Ehm..
iya. Maaf mengganggu.” ucap Koko sambil mendaratkan pantatnya kekursi yang di
tujukan untuknya.
“Ada
yang bisa saya bantu mas Koko?” Tanya Febi agak canggung.
“Gak
usah panggil mas, Koko aja.”
“Oh
iya, Koko. Kamu tau alamat rumah aku darimana?”
“Ceritanya
panjang Febi, yang jelas aku datang kesini mau mengajukan proposal.”
“Hah?
Proposal apa? Panti asuhan?” Tanya Febi agak kebingungan.
“Bukan.
Jadi gini.. to the point aja yah.”
Febi
hanya menyimaknya dengan waswas.
“Aku
sebenarnya berniat mau melamar kamu. Orang tua kamu ada?”
“Eh
sebentar.. maksud kamu melamar, menikah gitu?” tanya Febi dengan perasaan yang
sudah tak karuan. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah lebih cepat,
membuat khimarnya seperti bergetar-getar.
“Sebenarnya
sejak pertama kali kita bertemu aku tertarik sama kamu, pribadi kamu dan
senyuman kamu. Walaupun kamu bercadar, aku bisa melihat ketulusan dari caramu
tersenyum, itu sangat membuat aku berdebar, maksudku aku sangat suka ketika
melihatmu tersenyum. Tak ada kepalsuan.”
“Oke..
tunggu..tunggu.. senyuman aku? Bagaimana kamu bisa tertarik sama senyuman aku
sementara senyumku tertutupi oleh cadarku.”
“Cadar
tak bisa menutupi pancaran dari senyummu. Matamu melukiskan semuanya. Ehh.. aku
bukan bermaksud buat ngegombalin kamu, tapi ini fakta.”
Febi
hanya terdiam. Mencoba mengatur pernapasannya agar dia tidak terlihat seperti
sesak nafas. Ia merasakan perasaan bahagia, takut dan terharu. bercampur aduk menjadi satu. Memikir-mikir, meminang-minang, dan akhirnya muncul sebuah keputusan yang tepat baginya.
Setelah beberapa lama mereka terdiam, akhirnya Koko buka suara kembali.
“Kamu..
mau menerima lamaranku?.”
“Silahkan
melalui kedua orang-tuaku terlebih dahulu. Jikalau mereka merestui, berarti
Allah memang merestui kita.”
“Jadi
kamu mau?”
“Kamu
Islam? Aku tidak ingin pindah agama ataupun menikah berbeda keyakinan.”
“Iya..
Aku memang keturunan Cina, Islam Hui.”
“Alhamdulillah.
Orang-tuaku akan pulang lusa dari Surabaya. Hendaknya kamu mempersiapkan
segalanya terlebih dahulu sebelum menemui orang tuaku. Dan aku akan
memberitahukan mereka lebih dulu soal ini, agar mereka tidak kaget.”
“Baiklah,
Insya Allah.”
“Insya
Allah.”
***
“Jikalau
anak saya memang sudah ingin, ya okelah.” Ucap pria berkumis tipis sambil
menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Tampak raut kebahagiaan terpancar dari
wajahnya.
“Alhamdulillah.”
Ucap pria paruh baya, Ko’ dari Toko Jaya.
Usut
punya usut ternyata Koko adalah anak dari pemilik Toko Jaya.
“Kalau
begitu, kita Ta’arufan dulu sambil mempersiapkan segala sesuatu.” Ucap Koko
sambil memandangi Febi.
Kedua
orang tua Febi mengangguk setuju. Lalu, mereka saling bersalaman sebagai tanda
penutup.
3 bulan
kemudian..
“Saya
terima nikahnya Febi Azahra binti Khairudin dengan mas kawin seperangkat alat
sholat dan emas seberat 3 gram di bayar tunai.”
“Sah?”
tanya pak penghulu kepada saksi-saksi yang tengah hadir diantara mereka.
“Sah..”
Jawab mereka secara serentak.
“Alhamdulillah.”
Febi
lalu menjabat tangan Koko yang sekarang sudah menjadi suaminya dengan lembut
dan menciumnya. Terlihat setitik air mata di pelipis matanya. Sementara,
sahabatnya Uci menangis terharu melihat sahabatnya itu telah menikah.
Febi
dan Koko segera menghampiri kedua orangtua mereka dan menyalami serta
berpelukan secara bergantian, sebagai tanda penghormatan kepada kedua orang
tua.
Karena senyuman
bukan sekedar terukir diatas bibir, namun terpancar pada mata melalui hati.
Itulah ketulusan senyuman dari wanita bercadar. Febi.
Jadi kalo gitu iman seseorang juga ngga bisa diukur dr bagaimana dia berpakaian, yang penting ketulusan dan hatinya.
ReplyDeleteMerujuk pada kalimat "karena senyuman bukan sekedar terukir di atas bibir namun terpancar pada mata melalui hati". Bisa juga sy membuat kalinat seperti ini "karena iman bukan sekedar bagaimana seseorang berpakaian scr benar sesuai agama namun terpancar dari dia bersikap melalui ketulusan hati" ???
ReplyDelete